Our Feeds

Tuesday, April 7, 2015

Catholic Youth Indonesia

KESAKSIAN R.J. STOVE: PERJALANAN PANJANG MENJADI KATOLIK

R.J. Stove merupakan putra dari seorang filsuf sekaligus ateis bernama David Stove.  Ia dibesarkan di Australia, di lingkungan yang cukup kental pengaruh ateismenya. Ia merupakan seorang pemikir, dan karenanya pertobatannya menjadi Katolik tidak dapat dilepaskan dari pencariannya akan kebenaran.
Ketika memasuki masa remaja, Stove menjadi anggota Gereja Anglikan. Meskipun demikian, ia merasa bahwa syahadat iman Anglikan tidak mengandung konten religius yang penting, dan karenanya hal tersebut tidak mengubah cara hidupnya. Baginya, ketertarikannya pada Anglikan didasarkan pada emosi semata, seperti seseorang yang menggandrungi Lady Gaga. Kemudian, saat ia berusia 18 tahun, ia memutuskan untuk tidak lagi pergi ke gereja, sekalipun ia sama sekali tidak mengalami krisis iman. Namun, keputusan untuk tidak lagi menghadiri gereja Anglikan memberikan rasa lega kepadanya, karena ia tidak harus membohongi dirinya sendiri dan orang lain.
Sejak kecil, Stove menganggap bahwa katolisisme ditandai oleh dua karakteristik yang menonjol. Pertama, orang-orang Katolik di sekitarnya memiliki nama keluarga Irlandia, yang seringkali memiliki anak dalam jumlah yang besar, dan mereka tidak tertarik dengan hal-hal yang bersifat intelektual. Kedua, katolisisme merupakan musuh bagi akal budi. Dengan demikian, ia melihat bahwa baik iman dan nalar merupakan hal yang saling bertentangan. Berdasarkan hal tersebut, maka sikap Stove dan keluarganya terhadap Gereja Katolik bukanlah sikap yang bersahabat, melainkan sebuah sikap yang menunjukkan oposisi dan perlawanan.
Keluarga Stove tinggal di sebelah biara Ordo Jerman bernama Schoenstatt Sisters of Mary. Kebaikan dan keramahan para suster tersebut membuat sikap keluarga Stove yang cenderung  negatif terhadap Gereja Katolik, menjadi lebih lembut. Meskipun demikin, orang tua Stove tetap beranggapan bahwa bukan iman Katolik mereka yang menjadikan mereka pribadi yang baik.
Ketika pintu pertobatan untuk menjadi Katolik mulai terbuka, bukan persoalan mengenai ajaran-ajaran tertentu yang menjadi pergulatan Stove. Melainkan, penerimaan terhadap keseluruhan ajaran iman Katoliklah yang membuatnya mengalami perjuangan intelektual yang tidak mudah. Ia sudah mempelajari sejarah Gereja dan dogma-dogma Katolik, dan pertanyaan besar yang hinggap di kepalanya ialah “Oleh otoritas apa?”. Ya, oleh otoritas apa Gereja dapat terus bertahan dan dibenci oleh banyak orang? Kalau Kepausan Gereja Katolik adalah sebuah penipuan, mengapa ada begitu banyak orang yang membencinya?
Di balik pergulatan intelektual itu, ternyata ada satu hal lagi yang membuat Stove tetap menjauh dari Gereja Katolik: yakni perilaku orang-orang Katolik yang buruk yang tidak menjalani imannya dengan baik. Ia melihat bahwa mereka hanya mau menerima hal-hal yang membuat mereka merasa nyaman sebagai seorang Katolik, dan menolak hal-hal yang memberikan ketidaknyamanan bagi mereka.
Faktor lainnya ialah seringnya ia mengalami gangguan mental. Selama bertahun-tahun ia yakin bahwa katolisisme akan memberikan dampak negatif yang sangat besar bagi jiwanya. Seandainya ia tahu bahwa yang sebaliknyalah yang benar, maka ia tidak perlu merasa ragu begitu lama untuk menjadi seorang Katolik.
Perkenalan dengan orang Katolik yang sejati merupakan hal yang membuka matanya. Namun, hal tersebut menjadi kurang berarti karena adanya dua tragedi keluarga yang menimpa dirinya tahun 1993-1994.
Sebelum Natal tahun 1993, ibu Stove―yang selama bertahun-tahun sering minum minuman keras, dan merokok secara kompulsif―mengalami stroke yang parah. Walaupun hal tersebut tidak cukup kuat untuk mencabut nyawanya, namun penyakit stroke ini telah merampas kemampuan ibunya untuk berbicara dan bergerak.
Bagi Stove, melihat ibunya yang secara bertahap menjadi lumpuh dan mengalami penurunan fungsi tubuh secara signifikan merupakan hal yang sangat menakutkan sekaligus menyedihkan. Akhirnya, setelah selama 8 tahun ibunya dirawat di nursing care selama 24 jam, ibunya meninggal dunia.
Tragedi kedua menimpa diri ayah Stove yang menderita kanker. Ayah Stove merupakan seorang atheis yang suka membaca buku yang ditulis oleh para teolog. Ia menganggap hobi ayahnya tersebut sebagai upaya untuk menguji ateisme ayahnya. Namun kejadian tersebut perlahan-lahan menghancurkan kondisi mental dan psikis ayahnya, akibatnya ayahnya mulai berprilaku sebagai orang yang tidak waras. Tidak hanya itu, sikap dan pemikirannya sebagai ateis juga mulai mengalami goncangan besar. Dalam suatu kunjungan, Stove melihat di samping tempat tidur ayahnya terdapat Kitab Suci. Melalui kenyataan ini, Stove melihat bahwa ateisme ayahnya perlahan-lahan dihancurkan oleh beratnya penderitaan yang dirasakannya.
Ayahnya kemudian meyakinkan psikiater untuk melepaskan dirinya dari rumah sakit jiwa. Ketika ayahnya telah bebas, maka dalam 24 jam ayahnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri. Peristiwa yang menyedihkan ini terjadi di bulan Juni 1994.
Peristiwa tragis yang dialami ayahnya merupakan momen yang menghancurkan ateisme Stove. Ia mulai bertanya-tanya: apakah ayahnya akan masuk neraka?  Masih adakah harapan tipis bahwa ayahnya akan masuk ke Surga, sekalipun ayahnya mati dengan cara bunuh diri? Seberapa besar kejahatannya berkontribusi terhadap kematian ayahnya? Dan bagaimana ia seharusnya menebus hal ini? Perjalanannya delapan tahun setelah peristiwa itu―ia dibaptis tahun 2002―merupakan pengembaraan yang membuat ia bergulat menghadapi pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Stove mulai melakukan pencarian akan kebenaran dengan banyak membaca buku katekese, biografi santo-santa dan para pahlawan Katolik. Ia pun banyak membaca buku yang ditulis para penulis terkenal seperti Hillaire Belloc, Waugh, Arnold Lunn, G.K. Chesterton dan Ven. Fulton J. Sheen. Namun salah satu buku favoritnya diberikan kepadanya oleh seorang imam waktu ia dirawat di rumah sakit, yakni Chat with Converts yang ditulis oleh Romo M. Forrest.
Melalui buku tersebut, Stove mulai mendapatkan pemahaman yang tepat tentang berbagai hal yang diimani orang Katolik. Baginya, buku tersebut memiliki kesamaan dengan sebuah buku yang berjudulRadio Replies[1] yang ditulis oleh Romo Leslie Rumble, yakni sama-sama memberikan fondasi intelektual yang kokoh bagi iman Katolik. Buku seperti ini baginya merupakan makanan yang sehat dan bergizi bagi pikirannya. Melalui pembelajarannya, Stove pun menyadari bahwa emosi saja tidaklah cukup untuk membuat seseorang menjadi Katolik. Ia pun juga sadar bahwa iman Katolik memiliki tradisi intelektual yang sangat kaya, dan karenanya ia sendiri mengakui bahwa Gereja Katolik telah mengajarinya cara berpikir dengan benar.
Pada tanggal 11 Agustus 2002, akhirnya Stove memutuskan untuk menjadi seorang Katolik. Pada masa ini, saat itu Gereja Katolik sedang diserang oleh berbagai pemberitaan tentang skandal pelecehan seksual yang dilakukan oleh imam Katolik. Bukan hal yang mengejutkan bila skandal tersebut sama sekali tidak mempengaruhinya, karena ia menyadari bahwa para imam pun tidak terbebas dari akibat dosa asal, dan karenanya mereka juga seorang manusia yang dapat berdosa.
Bagi para ateis yang merasa ragu untuk menjadi Katolik karena skandal pelecehan seksual para imam, inilah perkataan Stove, yang merupakan hasil pembelajarannya secara mendalam:
“Para kriminal kotor yang membuat kamu merasa jijik: janganlah pikirkan mereka sebagai seorang Katolik. Kecuali mereka bertobat (dan karenanya pertobatan pribadi tidak lagi menjadi pilihan yang sah bagi mereka), mereka akan pergi ke tempat yang dijanjikan St. Paulus. Pikirkanlah tentang orang kudus.  Bila kalian ingin menilai kami, kami memiliki hak untuk meminta kalian agar kalian menilai kami, bukan melalui orang-orang yang terburuk, melainkan dari orang Kudus…”
“Dan ingatlah hal ini juga: tak ada seorang pengajar Katolik sejati yang akan memaksakan imannya kepadamu. Pada akhirnya semua tergantung padamu. Inilah arti kehendak bebas. Namun bukan hal yang dianjurkan bahwa kalian menolak iman secara otomatis tanpa mempelajarinya… Temukanlah apa yang seharusnya dipegang teguh orang Katolik, bukan dari apa yang dibayangkan musuh-musuh mereka sebagai yang harus diimani orang Katolik.”
“Terutama: bersiaplah untuk menggunakan nalarmu, dan ia belum pernah digunakan sebelumnya.” Beberapa ajaran Katolik, kelihatannya arogan. Namun bila diperiksa dengan teliti, ajaran tersebut tidaklah sombong. Bila kamu menginginkan arogansi, janganlah mencari ajaran Katolik…”
Melalui kutipan di atas, kita pun dapat merenungkan bahwa kita mengimani dan mengikuti Kristus, kita tidak beriman kepada paus, uskup atau imam. Kita juga tidak bisa menyalahkan Yesus atas pengkhianatan Yudas.
Selanjutnya, Stove juga menekankan tentang pentingnya untuk melihat ajaran Katolik secara mendalam dan tidak berhenti di permukaan saja. Ia mengajak kita untuk menyelidiki ajaran Katolik dengan menggunakan akal budi kita. Dan melalui pembelajaran tersebut, pada akhirnya, keputusan untuk menjadi Katolik bukanlah sesuatu yang dipaksakan, melainkan merupakan sebuah keputusan kehendak bebas yang didorong oleh rahmat Tuhan. Bila kita sudah diyakinkan bahwa kebenaran yang utuh ada dalam Gereja Katolik, maka tidaklah perlu kita menunggu terlalu lama untuk bergabung dengannya.
Pada akhirnya, kita dapat melihat betapa Allah sungguh maha kuasa. Ia dapat menggunakan berbagai peristiwa dalam hidup kita, perjumpaan dengan orang lain, serta pembelajaran intelektual, untuk menuntun seseorang menemukan diri-Nya dan bergabung dalam Gereja yang didirikan-Nya.
R.J. Stove tinggal di Melbourne, Australia. Artikel-artikelnya sering diterbitkan di The American Convservative (di sini dia merupakan editor), Chronicles, Modern Age dan The Remnant.[2]
[1] Buku tersebut dapat diakses secara online di sini: http://www.radioreplies.info/
[3] Disalin dari https://luxveritatis7.wordpress.com/2015/04/03/kesaksian-r-j-stove-perjalanan-panjang-menjadi-katolik/

Subscribe to this Blog via Email :
Previous
Next Post »