“Hai
teman-teman, lihat ini.....!” teriak seorang anak kecil berumur 10 tahun
memanggil teman-temannya, sambil menunjuk ke jalan raya. Anak kecil itu bernama
Celsus, putera Marcianus, gubernur provinsi Mesir (tahun 303) yang terkenal
kejam lagi bengis dan membenci penganut Kristus. Maka orang Kristiani selalu
terancam hidupnya.
Teman Celsus
datang berduyun. “itu lihat! Bagus amat!” seru Celsus. Teman-temannya bingung.
Apa maksud Celsus? Orang yang diseret algojo dan dipukuli itu? Darah yang mengucur
dari kepalanya itu?
“O.....Bagus......Bagus”
kata Celsus. Semua keheranan. “apa yang kau lihat, Celsus? Itu kan biasa, si
jahat Kristiani dipukul dianiaya”, kata temannya. “lihat diatas kepalanya. Oh
indah putih bersih!” Celsus terus berkata. Temannya tambah bingung. Celsus
tentu gila! Mereka tak melihat apa-apa, kecuali kepala pesakitan yang berdarah.
Pesakitan dan algojo telah lalu jauh, tetapi Celsus belum bergerak dari
tempatnya dan tinggal sendiri. Pandangannya mengikuti pesakitan itu. Hatinya
terpesona kagum. Akhirnya ia membuang bajunya dan berlari melalui jalan
lintasan dan mau bertemu dengan orang tersebut
***
Yulianus,
pertapa Kristiani, tadi pagi dipanggil oleh Marcianus dan diperintahkan
menyembah berhala. Tepai tak mau dan tak sudi menjalankannya karena keteguhan
imannya. Maka marahlah Marcianus. Yulianus diseret keliling kota. Berkali-kali
pukulan algojo menghujani kepalanya. Rambutnya yang telah memutih, sekarang
memerah karena darah. Sepanjang jalan dia jadi tontonan orang, bahkan anak-anak
mengikutinya sambil bersorak-sorak.
Tiba-tiba
iring-iringan itu terhenti, karena kedatangan Celsus yang telah melalui jalan
lintasan itu dan tiba-tiba berlutut di hadapan Yulianus sambil berkata, “Saya
berlutut turut bersujud kepada Kristus.” “ini tak boleh. Ayahmu pasti marah”,
pikir algojo itu dan lekas menarik tubuh Celsus. Beberapa orang pergi
memberitahukan kepada gubernur Marcianus. Semua diam keheranan dan Celsus
dipegang eraterat oleh algojo. Mendengar anaknya dipeluk Yulianus, naik darah
Marcianus. Andaikata bukan anaknya sendiri tentu sudah remuk kepalanya.
Yulianus tak luput dari marahnya. Wajah Yulianus menjadi sasaran tamparannya
dan dadanya menjadi sasaran tendangannya sambil berkata, “Hai anjing Kristiani,
kau berani mempermainkan anakku? Hilangkan daya sihirmu, bangsat!” Yulianus
menundukkan kepalanya dan Celsus masih berdiri di sampingnya. Ibunya mendengar
hal itu, berlari ke tempat Celsus sambil menangis terisak-isak. “Celsus
puteraku, hilangkan kepercayaanmu akan orang Kristiani itu!” bujuk ibunya.
Marcianus melihat istri dan anknya bertangis-tangisan, menjadi sedih
kebingungan. Apa yang akan diperbuat? Akhirnya ia merobek jubahnya dan berkata,
“Kristiani jahanam tak berperikemanusiaan. Lihat kedukaanku! Apa yang kau
lakukan, hingga anakku menjadi begini? Hilangkan tenungmu! Nanti kubebaskan
engkau!” “Bukan orang Kristiani yang tak punya kasihan. Melainkan tuan sendiri
yang kejam. Mengenai putera tuan, tanyailah sendiri! Saya tak ingin bebas!”,
jawab Yulianus. “keparat betul kau!” kaki Marcianus menyepak pinggang Yulianus,
hingga terguling dan jatuh pingsan.
Celsus mendapat
giliran pemeriksaan. Tangis ibunya tak mengubah hatinya. Bentakan dari ayahnya
tak menggoyangkan imannya. “Celsus, jawab pertanyaanku! Diapakan kau oleh si
tua ini?” tanya Ayahnya. “Kristus telah membuka hatiku. Telah kulihat kekuasan
Allah Kristiani, yang telah mengirimkan malaikat Nya”, jawab Celsus dengan
tegas. Ayahnya bingung. Tak tahu apa itu malaikat. Mengapa Celsus dapat berkata
begitu tegas? “anak keparat! Prajurit, bawa kedua orang ini ke penjara di bawah
tanah! Lalu kalut pikiran mereka!” pintah sang gubernur. Celsus dan Yulianus
digiring oleh beberapa orang pengawal menuju penjara. Celsus kenal betul akan
penjara di bawah tanah itu, karena telah biasa bermain-main di dekatnya.
Penjara selalu gelap, sinar matahari tak pernah masuk. Udara di dalamnya sangat
lembab dan menyesakkan napas. Telah banyak orang Kristiani yang mati lemas di
situ. Tetapi kali ini ia merasa gembira sekali akan ditutup dalam penjara. Ia
sendiri heran mengapa demikian senang rasa hatinya pada waktu itu.
Sesampainya di
penjara para penjaga heran melihat Celsus. Mereka berkerumun hendak bertanya.
Celsus dan Yulianus dimasukkan ke dalam penjara. Sekonyong-konyong pengawal
kaget berteriak.... : penjara yang gelap gulita segera berubah menjadi terang
benderang. Hawa busuk berangsur berganti harum semerbak-mewangi. Untuk kedua
kalinya Celsus mengalami kasih Tuhan kepada penganut Nya. Ia berlutut berterima
kasih. Pengawal penjara masih berdiri terpaku. Tak percaya ia akan melihatnya
sendiri. Ditatapnya wajah Yulianus dan Celsus. Terlihat bersinar. Terang Tuhan
menyinari hatinya. Setelah melihat kejadian itu, pengawal lalu berlutut
sedangkan penjaga–penjaga lainnya yang ada di luar gua turut menyaksikan
keajaiban itu. Lalu menyerbu masuk dan juga berlutut di muka Yulianus. Seketika
itu mereka meminta diajari agama dan dipermandikan. Yulianus dan Celsus berdoa
kepada Tuhan, memohon imam yang akan mempermandikan mereka.
***
Dekat Antiokhia
wilayah Mesir hiduplah seorang imam bernama Antonius. Tiap hari ia mengorbankan
Misa kudus dengan diam-diam, rajin mengajar agama, dan mengantarkan “Roti Suci”
untuk para tawanan. Tetapi menjalankannya harus sembunyi-sembunyi, sebab
mata-mata gubernur Marcianus berkeliaran dimana-mana. Dia mendengar Yulianus
ditahan. Ia kenal benar dengan pertapa suci itu.
Pada suatu hari
sehabis misa, ia berkemas hendak pergi ke Antiokhia, mengunjungi kenalannya
Yulianus yang ada di penjara. Dengan diam-diam ia telah masuk ke penjara di
bawah tanah. Akan tetapi malang terlihat oleh seorang penjaga. Segera belenggu
mengikat tangannya dan ia diseret menghadap Marcianus. Marah betul sang
gubernur. Antonius disiksa tanpa diperiksa terlebih dahulu. Kemudian diseret ke
penjara bawah tanah. Di penjara, Yulianus meliaht Antonius masuk ke penjara
dengan terbelenggu, terperanjatlah dia. Tetapi lalu menyongsongnya dengan
girangnya: “Tuhan mengabulkan permintaan kami”, katanya.
“apa yang
menjadi permintaanmu?”
“kemarin kami
berdoa minta seorang imam, karena orang-orang minta dipermandikan.”
“Siapa anak
kecil itu?”
“Itu Celcus,
putera gubernur Marcianus.”
Antonius
terperanjat mendengar itu. Dipandangnya Celsus dengan tajam. Ia amat kagum
dengan keberanian anak itu.
Pada hari itu
juga Celsus menerima permandian. Wajahnya berseri-seri, hatinya girang penuh
dengan rahmat Tuhan. Tetapi tiba-tiba pintu penjara dibuka. Penjaga masuk.
Celsus dipanggil, lalu dibawa pergi sendiri akan menghadap ayahnya. Rasa takut
tak ada padanya. “Bagaimana, Celsus? Dapatkah kau membuang kepercayaanmu?”
tanya ayahnya. “sama sekali tidak, ayah! Malahan saya telah menjadi penganut
Kristus sungguh-sungguh. Permandian telah saya terima”, jawab Celsus dengan
tegap. Muka Marcianus memerah penuh darah, suaranya mengetar, “Bunuhlah anak
ini!” Algojo mendekati Celsus dengna wajah buas. Tangan kasar hendak mencekik
leher Celsus, tetapi tiba-tiba algojo jatuh, tak berdiri, bergerak sedikit pun
tak dapat. Ia lumpuh. Rasanya tak beraraf lagi badannya.
“Celsus
sembuhkanlah aku. Aku percaya akan Allahmu”, keluhnya kepada Celsus.
“Baiklah Tuhan
menunggu kau!”
Algojo merasa
sehat seperti biasanya lagi, lalu berdiri. Marcianus heran dan ketakutan. Tapi
rasa takutnya dia sembunyikan. Membentaklah lagi dia, “Celsus, kau telah
mendapat ilmu sihir Kristiani pula. Sekarang kau bukan putraku lagi, khianat!
Tunggu besok pagi kurebus kau!” Celsus menerima keputusan ayahnya dengan tenang
dan digiring lagi ke penjara.
***
Pagi hari di
alun-alun telah banyak orang. Marcianus sedang bermusyawarah di situ dengan
para hakim. Di tengah alun-alun telah tersedia beberapa periuk belanga berisi
minyak mendidih. Tiada lama kemudian terdengarlah suara rantai diseret.
Tawanan-tawanan Kristiani dibawa ketengah alun-alun. Marcianus menanyai mereka
satu persatu dan menyuruhnya mengingkari Kristus. Tetapi tak ada seorang pun
yang sudi menjawabnya. Kini tiba gilaran Celsus, putranya sendiri.
“Tak takutkah
kau akan minyak itu?”
“saya tak takut,
ayah. Tapi saya mempunyai permintaan. Izinkan saya berbicara dengan ibu sebentar.”
“Boleh. Bila kau
sudah mandi minyak mendidih itu.”
Tawanan-tawanan
telah menghadapi periuk maut masing-masing. Orang-orang yang menonton takut dan
ngeri melihatnya. Tanda berbunyi. Semua tawanan dangkat dan dimasukkan kedalam
belanga. Penonton menjerit – tetapi lalu terdiam keheranan. Belanga semua
bersinar. Yang digoreng kelihatan segar bugar. Tak ada satupun yang kesakitan.
Marcianus juga melihat kejadian ini. Tapi belum juga percaya akan kekuasaan
Tuhan. Dianggapnya ilmu sihir belaka.
Yulianus yang
pertama keluar dari minyak mendidih itu lalu ditanyailah dia, “mengapa masih
berani kau menggunakan sihirmu?” Tetapi teringatlah dia akan putranya. Bukankah
Celsus sendiri kemarin juga membuat keajaiban? Hatinya gundah bimbang,
“betulkah ini pertolongan Kristus?” pikirnya. “ Ah, tidak ini hanya daya sihir.
Rahmat Tuhan yang baru membuka hatinya ditolaknya mentah-mentah. Hatinya
dibentengi kekejaman dan kebengisan. Tiba-tiba Celsus datang dan menagih janji
Marcianus, bapaknya. “Sekarang bolehkah saya menghadap ibu?” bujuknya.
“Pergilah!” jawab Marcianus acuh tak acuh. “Prajurit!” bentaknya, “bawa
anjing-anjing Kristiani ini ke kandang lagi!” semua tawanan dibelenggu lagi dan
digiring ke penjara kecuali Celsus.
***
Celsus
mendapatkan ibunya yang masih keheran-heranan melihat kejadian ajaib itu.
Ibunya tak henti-hentinya memandang Celsus, dilihatnya anaknya bersinar terang.
Ia tak berani memeluknya, meskipun amat ingin ia mencium anaknya. Tetapi Celsus
lalu mendekapnya dengan penuh keharuan. Ibu dan anak yang terpisah karena
kebengisan ayah, dapat bercakap-cakap lagi.
“bagaimana,
anakku?” kata ibu Celsus membuka percakapan, “kau dapat selamat keluar dari periuk minyak itu?”
“inilah
pertolongan Kristus kepada hambanya, ibu.”
Jawab anaknya
ini dipikirnya betul-betul, dibandingkan dengan penyembahan kepada dewa-dewa.
“Betul-betul kuasa dewa Kristiani”, kata ibu Celsus
“inilah yang ku
cari, ibu, yang terkuasa dari semua.”
“tetapi bukankah
Yupiter juga dewa terkuasa?”
“Yupiter hanya
patung, bu, buatan pandai emas, belum pernah saya lihat kekuasaannya.” Jawaban
itu rupanyatermakan benar dalam pikiran ibunya. Ia diam sejenak dan berpikir.
“memang betul katamu, anakku!”, katanya. “Kristuslah yang lebih berkuasa....”.
Tengah mereka
bercakap-cakap datanglah Marcianus. Celsus ditarik, lalu dibelenggu oleh
seorang prajurit, lalu dibawa ke penjara lagi. Ibunya mengikuti dari belakang,
ingin melihat bagaimana nasib anaknya di penjara. Penjaga telah meninggalkan
pintu dan masuk ke pos penjagaan. Ibu Celsus membuka pintu penjara. Ia turun.
Sampai di bawah, ia tercenggang melihat penjara itu amat terang. Bau busuk
hilang. Segera ia mendapatkan anaknya dan Yulianus, lalu diminta dipermandikan
dengan keinsafan bahwa ia pun akan dibunuh.
***
Keesokan harinya
Marcianus telah mengadakan sidang pula. Semua hakim hadir. Mereka merencanakan
penganiyaan bagi orang Kristiani. Selesai sidang Marcianus memanggil istrinya.
“Bujuklah anak kita Celsus, supaya mau membuang agamanya, lalu hadapkan
kemari!” tibalah saat yang dinanti-nantikan, Celsus melihat ibunya datang,
segera ia menyongsongnya, “Pax Tecum”
(Salam). “Et cum spiritu tuo (salam
padamu juga). Ah kabar buruk yang kubawa, Celsus, ayahmu menyuruh aku
membujukmu dan tentu kita akan mendapat penganiayaan.” “Kita tak usah khawatir,
Kristus melindungi umat Nya. Mari kita menghadap ayah, bu!” kata Celsus dengan
tenangnya.
Keduanya
mengahadap Marcianus. Celsus ditanyai dengan lemah lembut, “Celsus anakku,
menurutlah pada ayah ibumu. Lemparkan agama jahanam itu!” “Saya tak dapat,
ayah, saya telah menjadi hamba Kristus. Dan.......... juga ibu telah menjadi
penganut Kristus!” mendengar istrinya menjadi seorang Kristiani, bukan main
marahnya Marcianus. Matanya menyala-nyala, mukanya merah padam. “Bangsat!
Sembah patung ini!” bentaknya sambil menunjukkan arca dewa Yupiter besar. Anak
dan ibu malahan berlutu berdoa. Dan ayah marah. Ketika itu terdengnar suara
yang dahsyat: patung Yupiter meletus! Rebah dan hancur. Sedang kuil turut
bergoyang, rebah dan hancur juga.
Marcianus lari
kebingungan. Pengawal dipanggilnya.
“Masukkan ke
kandang singa!” perintahnya gugup. Celsus dan ibunya digiring. Singa lapar
menanti mereka. Pintu kandang dibuka. Kedua orang didorong masuk. Marcianus
meliaht dari luar. Tetapi apa yang dia lihat? Rahmat Tuhan yang paling akhir
untuk menyelamatkan jiwa Marcianus: Singa-singa itu menjadi jinak. Tak mau
menyakiti, malahan menjilat-jilat kaki mereka. Tetapi hati Marcianus telah
membatu, makin mendidih darahnya. Semua mukjizat menjadi tantangan baginya. Apa
yang lalu dikerjakannya? Istrinya dan anaknya keluar dari kandang. Tak mendapat
luka sedikitpun mereka itu. Pengawalnya karena ketakutan, lalu menarik
pedangnya. Dan......... tersemburlah darah martelar suci Celsus dan ibunya.